Menulis itu
bukan hal yang mudah. Meski sudah berpuluh buku kubaca, beribu fiksi kuraba,
ratusan puisi kucerna. Tetap saja aku tak mampu mengunggah kata menjadikannya
kalimat indah bak instrumen musik yang menggelora. Metode Papa Isa telah
kuterapkan. Aliran Bang Agung telah kulakukan. Cara-cara Mas Dj telah
kujalankan. Tetap saja tak ada sya’ir yang bisa dibanggakan. Hingga dengan hati
berbunga-bunga bak tengah jatuh cinta kutabuhkan gendrang peperangan dengan
menulis.
Tuntutan senior
hampir membuatku galau berkepanjangan. Menulis laporan utama untuk buletin
fakultas. Tentu saja aku tak akan lari dari tanggung jawab. Reportase
lingkungan sekitar kampus telah kujalankan, bahkan siap kulaporkan. Tapi jangan
suruh aku menulisnya. Karena tak akan ada kata yang mengasyikkan menjadi
paragraf untuk dibaca. Bukan aku tak berusaha. Bahkan strategi para Bunda*pun
telah kucoba. Hasilnya hanya mampu menyusun lima kata, “aku sayang kamu, kamu
juga?”. Hanya ke dukun yang belum kucoba dengan alasan takut syirik jadinya.
Kata best
friendku, aku termasuk mahasiswa yang beruntung bisa bergelut di jurnalistik
kampus. Beribu pendaftar dan aku menjadi yang terpilih. Kutegaskan duakali lagi
kalau aku tak bisa menulis, yang akhirnya tugasku hanya sebagai pemburu berita,
reportase, tetapi tidak termasuk menulisnya. Beruntung bukan...
Aku mengutuk
diri saat akhirnya harus berbaikan dengan menulis. Bukan dengan alasan besar,
hanya karena kertas berisi coretan “aku sayang kamu, kamu juga?” terselip dalam
buku laporan yang kuserahkan pada senior kemarin. Dia sedikit emosi karena
menganggapku tak profesional dalam bekerja. Tiga empat kali kujelaskan bahwa
itu bukan surat cinta layaknya zaman purba melainkan coretanku berusaha
menulis. Tapi dia tak percaya, hingga akhirnya aku bersahabat dengan kertas dan
pena. Ya sudahlah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar