genggam duniamu dengan ilmu

Selasa, 03 Juni 2014

Aku sayang kamu, kamu juga?




Menulis itu bukan hal yang mudah. Meski sudah berpuluh buku kubaca, beribu fiksi kuraba, ratusan puisi kucerna. Tetap saja aku tak mampu mengunggah kata menjadikannya kalimat indah bak instrumen musik yang menggelora. Metode Papa Isa telah kuterapkan. Aliran Bang Agung telah kulakukan. Cara-cara Mas Dj telah kujalankan. Tetap saja tak ada sya’ir yang bisa dibanggakan. Hingga dengan hati berbunga-bunga bak tengah jatuh cinta kutabuhkan gendrang peperangan dengan menulis.
Tuntutan senior hampir membuatku galau berkepanjangan. Menulis laporan utama untuk buletin fakultas. Tentu saja aku tak akan lari dari tanggung jawab. Reportase lingkungan sekitar kampus telah kujalankan, bahkan siap kulaporkan. Tapi jangan suruh aku menulisnya. Karena tak akan ada kata yang mengasyikkan menjadi paragraf untuk dibaca. Bukan aku tak berusaha. Bahkan strategi para Bunda*pun telah kucoba. Hasilnya hanya mampu menyusun lima kata, “aku sayang kamu, kamu juga?”. Hanya ke dukun yang belum kucoba dengan alasan takut syirik jadinya.
Kata best friendku, aku termasuk mahasiswa yang beruntung bisa bergelut di jurnalistik kampus. Beribu pendaftar dan aku menjadi yang terpilih. Kutegaskan duakali lagi kalau aku tak bisa menulis, yang akhirnya tugasku hanya sebagai pemburu berita, reportase, tetapi tidak termasuk menulisnya. Beruntung bukan...
Aku mengutuk diri saat akhirnya harus berbaikan dengan menulis. Bukan dengan alasan besar, hanya karena kertas berisi coretan “aku sayang kamu, kamu juga?” terselip dalam buku laporan yang kuserahkan pada senior kemarin. Dia sedikit emosi karena menganggapku tak profesional dalam bekerja. Tiga empat kali kujelaskan bahwa itu bukan surat cinta layaknya zaman purba melainkan coretanku berusaha menulis. Tapi dia tak percaya, hingga akhirnya aku bersahabat dengan kertas dan pena. Ya sudahlah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar