Pelabuhan “SEMI” Ku
Udara
pagi terasa hangat menyentuh kulit ku saat sinar mentari menerobos masuk tanpa
izin melalui jendela kamarku. Aku tergugah. Hal yang tak ku inginkan harus
meninggalkan “Edogawa” yang ku namai untuk kasurku ini. Aku bangun dengan malas,
berjalan perlahan menuju jendela kamarku, membuang pandangan ke luar jendela. Ku
lihat Mr. Benkob tetangga depan rumahku sedang mengecat rumahnya dengan cat
warna merah dan biru, kombinasi warna yang menurut ku terlalu mencolok, hingga
membuat rumahnya terang benderang, bayangkan jika rumahnya di lihat saat musim
panas, pasti sangat menyilaukan mata. Tetangga ku satu ini memang mempunyai
hobby mengkombinasikan warna melalui cat rumahnya.
Pandangan
ku berputar mengelilingi kompleks perumahan kami. Hal yang sama terlihat di
beberapa rumah lainnya. Beberapa tukang cat mengecat rumah majikannya. Beberapa
tukang kebun, mendesain kebunnya agar terlihat lebih indah. Aku mulai
bertanya-tanya ada apa dengan pagi ini. Hingga ku temukan jawaban saat melihat
kalender. Musim semi.
Ya
sebentar lagi musim semi menghampiri negara ku. yang kata orang musim dimana
bunga-bunga bermekaran, musim kasih sayang, musim cinta. Aku sendiri tak tahu apa
sebenarnya musim semi, bagiku sama saja dengan empat musim lain, aku tetap menjalaninya
berdua dengan ayah, karena aku dan ayah tinggal di jepang, sesuai tradisi
jepang melakukan “Hanami”, yaitu berkumpul dibawah pohon sakura, piknik bersama
keluarga, menikmati indahnya bunga sakura, menggelar berbagai festifal, tarian,
makan bersama di Taman Ueno, salah satu tempat favorit ku. Aku selalu berharap
setiap tahunnya di musim Semi, sesuatu terjadi dihatiku hingga merubah hidupku.
Ingin sakura-sakura tak hanya bermekaran menghiasi bumi Jepang, tapi juga
bermekaran di hatiku. Aku tersenyum-senyum sendiri menunggu kapan kira-kira
waktu itu akan tiba.
“pagi
gadisku”. sapaan khas di belakang ku menghentikan aktivitas ku. Ku lihat ayah
bersandar di pintu kamarku dengan segelas susu coklat di tangannya. Aku
tersenyum, mendekati ayah.
“pagi
malaikatku” panggilan kesayangan ku untuk ayah. Ku cium tangannya. Aku tesenyum
menyambut susu coklat itu. “makasih Yah”. Aku mulai menikmati susu buatan ayah
yang menurut ku terenak di dunia. Ini yang kusukai dari ayah. Setiap pagi
menyambut ku dengan sapaan sayangnya, senyum khasnya, dan susu coklatnya
menambah kehangatan pagi ku.
Mungkin orang beranggapan ayah terlalu memanjakanku. Tapi bagi ku perlakuan
ayah sangat wajar karena hanya aku satu-satunya harta ayah, begitu juga dengan
ku hanya ayah satu-satunya malaikatku, sejak bunda meninggalkan kami bersama
laki-laki lain. Aku lebih memilih ikut tinggal bersama ayah ke Jepang dan
memberikan cap “wanita terjahat” pada bunda ku.
aku melirik “donel bebek” mini di pergelangan tanganku. Terkejut dengan waktu
yang menunjukkan waktu 06.30 jst. Ups, aku bisa terlambat kesekolah. Secepat
kilat aku menuju kamar mandi.
JJJ
“Auliya
Safitri”. Aku menoleh pada sobat ku Arin yang satu kebangsaan indonesia dengan
ku. Arin mendekatiku dengan sebungkus “Taro” di tangannya. Sobat ku satu ini
emang doyan makan, terlihat dari postur tubuhnya yang besar kaya kartu perdana
XL, hehe..
“ada apa Arinda Maulana” balas ku menyebut namanya lengkap dengan nama ayahnya.
Arin tersenyum. “ manggil nama ku enggak pake nama ayah ku juga kali”.
aku tersenyum simpul.
“kamu
di cari Tamia”.
dahiku berkerut. Rasanya tak ada satu pun nama teman ku Tamia. Siswa barukah?
”
Tamia?, siapa?” tanya ku pada Arin.
“itu
si kapten sepak bola”. Jawab Arin sambil memasukkan beberapa potong Taro ke mulutnya.
aku
tersenyum. “Tom ya”.
Arin mengangguk. Tom adalah salah satu teman ku, berkebangsaan jepang. Nama
sebenarnya adalah Tomio yang dalam bahasa jepang artinya orang berharga. Tapi
kata Arin nama Tomio lebih mirip nama sebuah permainan Tamia yang membuatnya
memanggil Tomio dengan Tamia, alasannya lebih mudah di ingat. Sementara kami
lebih sering memanggilnya Tom.
“kenapa Tom mencari ku?” tanya ku pada Arin.
Arin menggeleng. “ tau enggak” lanjutnya. Aku menggeleng membuat Arin manyun.
“kamu kan belum memberitahu aku Rin” kataku membela diri sambil tersenyum
simpul.
Arin
tersenyum. “si Tamia nyari kamu sambil bawa bunga”.
Aku
bingung. “ada apa dengan Tom ?”
“yang benar ada apa dengan mu, Lia, hehehe”.
“ya
sudah, ayo kita kekantin”
Mata
Arin membulat mendengar ajakan ku. “ayo” katanya dengan semangat 45 nya”.
JJJ
Aku
dan Arin berjalan meninggalkan halaman SMA Khasima Gakuen, SMA yang terkenal
melahirkan para pemain sepak bola internasional Jepang. Belum sampai parkiran,
Tom datang menghampiriku dengan menyodorkan setangkai mawar merah yang ku
berikan kepada mu, ups maksudnya yang langsung diberikan kepada Auliya.
“aishiteru
yo Lia, kore wa hitomeboredeshita” ungkapnya dengan bahasa nasionalnya. Yang
artinya lebih kurang “aku cinta kamu, Lia. Ini adalah cinta pada pandangan
pertama”.
Aku
terpana dengan kata-kata Tom.
“tapi
kaa mu thak pherlu jjawab sekharang, Lia. Aku me ngerti khamu phasti terkhejut
dhengan phengakhuan inhi, taphi inilah yang kurasakhan sejhak perthama khamu
mhashuk di shekholah khu”. lanjutnya masih menyodorkan mawar merah padaku.
Arin hampir tertawa mendengar kata-kata Tom, lebih tepatnya mendengar suara Tom
mengucapkan bahasa indonesia dengan tersendat-sendat. Aku menyikut lengan Arin.
Memberi kode jangan sampai tertawa. Arin mengalihkan pandangannya. Aku masih
tak tahu harus bebrbuat apa. Pengakuan blak-blakan pemuda Jepang ini membuat ku
terkejut, sangat-sangat terkejut. Perlahan aku mengambil mawar merah dari Tom.
Aku tersenyum.
“thank’s
for the roses Tom, and thank you for your words, but sorry I can not say
anything. I'm honestly surprised by your expression of love. I'm not ready at
all.
sorry
tom..” kata ku dengan hati-hati, menjaga perasaannya.
Tom
tersenyum, “chinta thak pherlu kesiaphan Lia, hanya baghaimana chara kitha menjhalani
dan menjaghanya aghar tethap uthuh”.
Aku
tersenyum, ternyata pemuda Jepang satu ini pintar bermain kata-kata. Aku tak
mengerti arti senyumnya, sampai Tom berlalu dari hadapan ku.
Sejak
saat pengakuan cintanya, Tom rajin menemuiku, membawakanku mawar merah setiap
paginya, memberikan kata-kata puitisnya dengan bahasa indonesia yang membuat ku
dan Arin ingin tertawa keras mendengarnya. Seperti pagi ini.
“shelamaht
paghi, Lia. Chanthiknya mawhar ini thak sechantik rona wajhah mu pagi inhi”.
Atau
“saat bershama mu akhu mersha dhamai, seakhan kitha telah lama bertemu”. Di
sertai dengan senyum khasnya.
Dan Tom tak pernah protes jika semua
kata-katanya, mawar merahnya hanya ku sambut dengan senyum simpul ku. Tom tak
pernah membahas atau mempertanyakan apa kira-kira jawaban ku. Tom seolah lupa
dengan niat awalnya. Yang dia tahu hanya selalu buat ku tersenyum, tersipu
malu.
JJJ
Putik-putik
sakura mulai menyelimuti jalanan kompleks perumahan ku. Sinar mentari ku rasa
hangat di jiwa ku. Kembali ku tersudut di sisi jendela kamar ku, mengitari
jalanan yang sejuk, menikmati lalu lalang orang-orang di sekitar rumah ku, ikut
merasakan tawa mereka. Masih melekat di benak ku kata-kata Tom, ungkapan
cintanya yang tak kujawab. Arin pun tak menyangka dengan Tom saat kami kembali
membahasnya.
“aku
masih tak percaya, Lia. Tom yang keren, yang kapten sepak bola, yang otaknya
gemilang, yang.. “ dan sederet kata yang
lain dari mulut Arin.
Aku
hanya diam mendengarkan.
“suka sama kamu, Lia. Lia yang cantik enggak, manis iya, pinter banget juga
enggak, seksi?, enggak tahu, kan bodi mu enggak kelihatan, Lia”. Lanjut Arin
dengan menggebu-gebu.
Aku
manyun mendengar kata-kata sobat ku ini. “kira-kira, Rin, aku kan sobatmu”,
lanjut ku dengan wajah ku buat kesal.
Arin hanya tertawa, “hehehehe.., maaf Lia, aku kan hanya mencoba menelusuri
sebab nya Tom suka sama kamu”.
dan ini terus berlanjut dengan anggapan-anggapan konyol dari Arin. Hingga
panggilan Ayah mengehentikan kekonyolan Arin.
“Lia,
bikin minum ya, ada tamu Ayah, nanti langsung bawa kedepan”
“ok
Yah” kata ku dengan senyum lebar, membebaskan ku dari kekonyolan Arin. Arin
tersenyum kesal kata-katanya harus terpotong. Aku segera berlari ke dapur.
Membuat dua cangkir teh dan membawanya ke ruang tamu. Ku dapati Ayah asyik
berbincang-bincang bersama seseorang yang sangat ku kenal.
“mas
Furqon”. Sapa ku pada tamu Ayah yang ternyata adalah tetangga ku saat di
Indonesia. Laki-laki yang ku panggil Mas Furqon menoleh padaku dan tersenyum.
“Auliya..”
katanya dengan senyum khasnya. Senyum yang selama di indonesia sangat ku kenal.
“Ayah
kok enggak bilang mas Furqon yang datang?”. Aku melirik Ayah yang hanya
membalas dengan tawa renyahnya.
“kan mau bikin kejutan sayang”. Ayah membela diri.
Aku
tersenyum manyun, begitu juga dengan Mas Furqon. Obrolan pun berlanjut antara
aku, Ayah dan Mas Furqon.
JJJ
Pertemuan
kembali dengan mas Furqon seolah membuat nostalgia antara aku dan dia. Mas
Furqon yang ku kagumi dengan segala argumennya, ku sukai dengan guratan wajah
lucunya, selalu menghibur ku saat sedih melanda, terlebih saat ayah dan bunda
pisah, mas Furqon lah yang setia menemaniku. Sejak saat itu wajah mas Furqon
selalu menghiasi malam panjang ku hingga ku bermukim di negri sakura ini pun
wajahnya tetap melekat di hatiku, mengisi setiap sudut-sudut jiwa ku. Inilah
alasan kenapa aku tak menerima ungkapan cinta si keren Tom. Tak lebih karena
sudut hati ku telah terisi oleh satu nama. Furqon.
Sejak
saat ini pun kembali hari-hari ku bersama dengan mas Furqon. Cerita kami dahulu
seolah kembali bersemi. Seiring dengan datangnya musim semi yang semakin dekat.
Sementara Tom pun masih selalu mendekatiku dengan kata-kata puitisnya, yang
malah membuatku tak memperhatikannya lagi. Aku lebih banyak menghabiskan waktu
bersama mas Furqon. Seiring seirama berdua menjalani tiap waktu yang berlalu.
Ketidak pedulian ku pada Tom dirasakan oleh Arin yang langsung melayangkan
protesnya pada ku.
“kamu
enggak bisa terus-terusan beigini, Lia. Enggak mikirin perasaan Tamia yang
selama ini setia menghantuimu kemana pun kau pergi”. Katanya berapi-api
Aku
hanya tersenyum. “Rin, Tom tahu aku tak bisa memberi jawaban padanya, dia juga
tak pernah menuntut jawaban ku”. Kata ku membela diri.
“tapi apa si kapten sepak bola tahu kalau kamu bermain-main dengan mas Furqon?”.
lanjut Arin. Aku menggeleng.
“nah,
kamu bayangin gimana nantinya kalau Tamia tau, Lia. Bayangin gimana sakitnya
dia, saat tau orang yang selama ini di nantinya ternyata malah berpaling ke
yang lain. Kamu mikirin enggak selama ini dia berharap dengan semua perhatian yang
kamu juga kasih ke dia. Mikirin enggak?” Arin semakin menampakkan protesnya.
Aku
bingung dengan sikap Arin, berfikir dalam hati sejak kapan ni anak begitu
perhatian dengan hubungan ku dan Tom, selama ini Arin biasa saja. Ikut tertawa
jika Tom mulai berpuitis dengan logat bahasa jepangnya yang masih kental.
JJJ
Pagi
ini aku dan mas Furqon berjalan-jalan menikmati panorama alam di Taman Ueno,
salah satu tempat favorit ku dan ayah.
“kamu
suka kesini, Lia?” tanya mas Furqon.
“iya,
suka Mas, hampir setiap hari aku kesini, apalagi kalau aku kangen sama Mas
Furqon”. Jawab ku sambil menatap mas Furqon. Mas Furqon tersenyum mendengar
ucapan ku.
“Mas
juga suka ke Pantai Paris kalau kangen kamu”.
Kurasakan
wajah ku merona. Pantai Paris (parang teritis), salah satu fisata Yogyakarta,
adalah tempat favorit ku dan Mas Furqon ketika di Indonesia. Aku dan Mas Furqon
selalu menghabiskan waktu bersama disana.
“mas
selalu ingat kenangan tentang kita berdua disana, selalu ingat kamu”. Lanjut
mas Furqon yang membuat ku semakin melambung jauh di cakrawala. Mas Furqon
menghentikan langkahnya. Aku menatapnya dengan bingung. Mas Furqon berbalik
menatap ku. Tatapan itu, masih sehangat tempo dulu. Kurasakan dada ku berdebar.
“Lia,
Mas sayang kamu”. Kata-kata mas Furqon semakin menyemikan bunga-bunga di
hatiku. Aku tersenyum malu.“aku juga sa...” kata-kata ku menggantung di udara
saat sebuah cengkraman erat di pundak ku. Aku menoleh dan terkejut.
Tom!!!
“thanks
lia,
I
finally understand the meaning of all this”. Kata-kata Tom mengejutkan ku.
“tom,
it's not what you Think, I can explain”. Kata ku dengan pelan.
“Lia
does not need any explanation, I understand your attitude so far, maybe I
expect too much”. Lanjut Tom
“Tom”.
Kataku mencegah semua kata-katanya.
Tom
tak menghiraukan kata-kata ku. Dia terus melanjutkan kata-katanya. “so.. thank
you for all of your free time to listen to the words of my crap. thank you for
your willingness to accept my roses. thank you Lia”.
“stop
Tom! Stop!”. Aku menjerit setengah menangis. Mas Furqon menenangkanku.
Sejenak
Tom terdiam. Perlahan dia menarikku ke sisiny, dan mencium kening ku sambil
berkata. “aishiteru yo”. Kemudian Tom berlalu, pergi menjauh, meninggalkan ku
dan mas Furqon. Aku dan Mas Furqon terkejut. Terdiam beberapa saat.
“kamu enggak apa-apa, Lia?” mas Furqon membawaku kepelukannya.
Aku
menangis, “aku enggak apa-apa Mas, kita pulang ya”.
Mas
Furqon mengiyakan ajakanku. Aku dan mas Furqon, menjauh meninggalkan Sakura
yang semakin bersemi.
JJJ
Sejak
kejadian di taman Ueno, tak kujumpai lagi Tom disekolah. Kabar yang ku dengar
dari Arin, Tom pindah ke Paris. Aku pun tak begitu mempedulikannya. Toh itu
mungkin satu-satunya jalan untuknya menenangkan diri, menjauhkan ingatannya
tentang ku. Aku pun fokus pada hubungan ku dengan mas Furqon. Arin sendiri pun
tak ingin lagi ikut campur. Mungkin dia kecewa dengan sikap ku atau apalah, aku
tak begitu memikirkannya. Andai kamu mengerti perasaan ku Rin. Cinta yang ku
rasakan pada mas Furqon begitu besar, dahsyatnya Dewa Amor memanah hatiku pada
Mas Furqon. Hingga tak ada celah sedikitpun di hatiku untuk yang lain Tapi yang masih menimbulkan tanda tanya ku
adalah Mas Furqon sama sekali belum meresmikan hubunganku dengannya. Mas Furqon
belum mengungkapkan cintanya seperti yang dilakukan Tom padaku. Sikapnya memang
baik padaku, perhatian yang begitu berlebihan, mungkin dengan perhatian dan
kebaikannya Mas Furqon menunjukkan cintanya padaku. Aku tak mengerti. Yang
jelas aku ingin sekali mendengar ungkapan cinta dari mas Furqon.
Beberapa
minggu terakhir aku tak bertemu dengan mas Furqon, setiap ku tanya alasan
menolak ajakan bertemu Mas Furqon selalu mengatakan sibuk mempersiapkan sesuatu
untuk acara musim Semi nanti. Apakah ia mempersiapkan sebuah kejutan untukku di
hari musim Semi nanti? Aku tak tahu. Jika itu yang terjadi alangkah senangnya
aku. Mungkin mas Furqon akan menyatakan cintanya saat hari musim semi tiba. Aku
tersenyum-senyum membayangkannya. Semakin tak sabar aku menanti musim semi
datang.
JJJ
Sekali
lagi aku menatap cermin, mempertegas penampilanku malam ini. Acar musim semi
hampir tiba. Aku sudah mempersiapkan segala sesuatu yang di perlukan dengan
bantuan Arin. Makanan, pernak-pernik, dan berbagai aneka barang aku siapkan.
“ayo,
Lia. Arin sudah nunggu kamu berjam-jam, acara “Hanami” akan segera di mulai”.
Suara Ayah memanggilku.
“iya,
Yah. Lia udah siap kok”. Jawab ku, dengan tergesa menuju halaman depan rumah
ku. Aku mencarinya, tapi yang ku lihat hanya ada Arin dan Ayah.
“Furqon
menunggu disana, Lia”. Kata Ayah seolah membaca pikiran ku.
Aku
tersenyum tersipu. “ok, let’s go”. Aku masuk ke mobil, bersama Ayah, Arin sudah
duduk di bangku supir. Mobil meluncur menuju Tama Ueno, tampat kami menyambut
musim Semi. Sampai disana, orang-orang dengan berbagai model sudah hampir
memenuhi taman. tak sabar rasanya aku menunggu Arin memarkirkan mobilnya. Aku
segera berlari menuju tempat kami berkumpul, dibawah sebuah ponon sakura yang
kupilih bersama Mas Furqon. Aku mencari-mencari sosok Mas Furqon. “Kemana dia
?” pikirku. Hingga ku temukan Mas Furqon sedang asyik berbicara bersama
orang-orang Jepang lainnya. Aku tersenyum mendekati Mas Furqon, hampir
memeluknya saat pandangan ku tertuju pada seseorang yang berdiri di sisinya. Seorang gadis yang
cantik, bergaun ungu, tersenyum pada mas Furqon. Siapa gadis ini? Dia tampak
begitu akrab dengan Mas Furqon. Hingga mata ku tertuju pada lengan gadis itu
yang menggamit lengan mas Furqon. Aku terkejut. Sayap-sayap emas ku seketika
patah. Mas Furqon melihat ku.
“Lia,
kamu sudah datang, mana Om dan Arin?”. Tanya mas Furqon padaku. Aku
mengabaikannya. Aku berlari menjauh darinya. Tak kuhiraukan panggilan Mas
Furqon pada ku. Aku terus berlari. Orang-orang sekeliling kami memandang heran
pada ku. Terlebih pada tumpahan bening yang segera menghiasi wajahku. Tak
peduli. Hingga kurasakan kelelahan menghampiriku, aku berhenti di pohon sakura
ku sendiri. Menatapnya, menatap bunga-bunga sakura yang bermekaran indah yang
ku artikan sebagai ejekan buat ku. Aku kembali terisak. Kenapa semi ini masih
sama seperti semi-semi yang telah berlalu? Kenapa aku tak pernah merasakan semi
yang begitu bahagia, semi yang memekarkan sakura-sakura cinta di hati ku?
Aku
tak sanggup lagi berdiri. Sebuah tangan kokoh menyentuh pundak ku. Aku menoleh.
Tom!!!
“bagaimana
bisa sakura bersemi, bermekaran di hatimu jika kamu sendiri tak siap dengan
hadirnya sakura-sakura itu”. Kata-kata Tom mengejutkan ku. Tom membantu ku
berdiri. Kami bertatapan. Aku menundukkan wajah, masih dengan isakan.
“musim
Semi tak butuh persiapan untuk memekarkan sakuranya, yang penting bagaimana
cara kita memperjuangkan, menjaga dan merawatnya agar tetap utuh”.
Bersama
Tom kuhabiskan malam Semi ini dengan hati yang tak beraturan. Tapi tetap
kurasakan kehangatan cinta dan senyum ceria Tom untuk ku seperti yang sering
dilakukannya.
JJJ
Udara
pagi terasa hangat menyentuh kulit ku saat sinar mentari menerobos masuk tanpa
izin melalui jendela kamarku. Aku tergugah. Hal yang tak ku inginkan harus
meninggalkan “Edogawa” yang ku namai untuk kasur ku ini. Aku bangun dengan
malas, berjalan perlahan menuju jendela kamar ku. Ku edarkan pandanganan ku
pada jalanan yang ramai dengan sekumpulan tetangga ku yang sedang bersantai
ria. Sampai aku berhenti pada satu keluarga. Mas Furqon dan Mbak Alin sedang
bermain-main bersama buah hati mereka si kecil Farid.
Masih
ku ingat saat mas Furqon menjelaskan semua apa yang dia rasakan padaku hanya
sebatas antara kakak dan adik, dan tentang mbak Alinnya bahwa mereka telah
bertunangan dan akhirnya menikah hingga memutuskan menjadi tetanggaku. Saat itu
pun ku sadari bukan cinta yang benar-benar kurasakan pada mas Furqon, melainkan
rasa kagum, simpatiku padanya yang telah menjaga ku saat aku terjatuh. Aku
menemukan rasa itu pada Tom. Rasa cinta yang sesungguhnya. Musim semi ku
berlabuh pada satu sosok yang terkenal sebagai kapten sepak bola, pemuda Jepang.
Tom si orang berharga.
“selamat
pagi gadisku”. Sapaan hangat yang sangat kukenal. Aku berbalik menoleh pada
ayah.
“selamat
pagi malaikatku”. Kubalas sapaan ayah dengan heran. Pagi ini tidak seperti
biasanya. Ayah tak datang dengan segelas susu coklatnya, malah menyodorkan sebuah
kertas yang menurutku itu sebuah surat.
“ini
apa Yah?” tanya ku sambil mngambil surat itu dari tangan Ayah.
Ayah hanya tersenyum. “ bagaimana Ayah tau itu apa jika Ayah saja belum
membukanya”. Aku tersenyum. Sepeninggal ayah aku segera membuka surat itu
dengan tak sabar.
Paris, April 2013
How are you my love?
Junengo no(sepuluh tahun lagi aku ingin melihatmu), Anata o mitsumete mitai kitto
soba de hohoende itai(aku yakin kita akan bertemu, dan aku akan tersenyum
disisi mu), Ikutsu mo no deai to waka re kugurinokete(pertemuan dan
perpisahan banyak terlalui), Ai suru, Anata ni so yo love meguriaeta (darimu
cintaku, ya ku temukan cinta lagi)
yang selhalu menchinthaimu
Tomio
Ku lipat surat cinta Tom dengan senyum merekah. “Tom, kali ini puitismu kusambut
dengan sakura-sakura yang telah bersemi untuk mu, tak akan lagi kuacuhkan apa yang telah kurasakan pada mu, pelabuhan
“semi” ku”. Kata ku dengan sejuta sakura bersemi dihati. JJJ